Oleh Bung Syarif*
Terminologi modal sosial sesungguhnya sudah ada sejak Tahun 1916. Wacana ini mulai marak dibicarakan setelah muncul kajian dari Coleman (1988), Futnam (1995), Fukuyama (1995), Portes (1998) serta Tsai dan Ghosal (1998). Dalam literatur perjalanan sejarah, modal sosial digunakan sebagai tema sentral dalam berbagai riset ilmu sosial, politik, ekonomi dan organisasi sosial termasuk juga didalamnya organisasi pemerintah.
Sebagian ahli memberikan definisi modal sosial sebagai perwujudan kerjasama antar anggota kelompok untuk menghasilkan tindakan kolektif. Pilar modal sosial adalah kepercayaan (trust), jaringan (network) dan kemudahan bekerjasama (ease of cooperation).
Solow memberikan terminologi modal sosial sebagai serangkaian nilai atau norma-norma yang diwujudkan dalam prilaku yang dapat mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi guna menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas.
Sementara Cohen memaknai modal sosial sebagai setiap hubungan ytang terjadi dab diikat oleh suatu kepercayaan, saling pengertian dan nilai-nilai bersama yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif.
Modal sosial sejatinya menjadi hubungan emosional antar individu dalam organisasi, sekaligus menjadi daya ungkit dalam menggerakkan roda organisasi sesuai visi-misinya. Pertanyaan kemudian muncul kenapa organisasi pemerintah (dunia birokrasi) antara atasan dengan bawahan terkadang ada kesan bagaikan langit dan bumi..?ada atasan yang sangat jauh jaraknnya dengan bawahan, bahkan ada juga sebaliknya.
Tentunya model komunikasi birokrasi sangat menentukan implementasi modal sosial itu sendiri. Ketika atasan cendrung bersikap otoriter maka akan mematikan modal sosial. Ingat spirit modal sosial adalah kepercayaan, jaringan, harmonisasi dalam bekerjasama demi terwujudnya visi-misi organisasi. Kepercayaan itu akan muncul mana kala tidak ada rasa saling curiga. Jangan pernah berharap bawahan akan produktif jika atasan selalu mencurigainya.
Ah, nanti dia akan menikung saya jika memberikan keleluasan bagi bawahan dalam berekpresi. Asumsi itu harus dileyapkan. Biarkan bawahan mengekpresikan ide dan gagasannya. Jika apa yang disampaikan benar dan baik demi keberlangsungan organisasi, maka doronglah ia agar terus berkarya. Jangan pernah mematikan kreatifitasnya apalagi mencoba membongsainya dengan berbagai cara baik dengan memfitnah, maupun dengan menghabat ruang geraknya. Ingat pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang mampu melahirkan banyak kader dibawahnya, bukan mematikannya.
*Penulis adalah Fungsionaris KAHMI Aceh, Mantan Kepala UPTB e-Kinerja PNS Kota Banda Aceh, Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Banda Aceh, Fasilitator (Pro DAI) Unicef-YaHijau, Ketua Komite DTI, Mantan Aktivis`98, Alumni Lemhannas Pemuda Angkatan I