Sat. Jul 27th, 2024

Oleh Bung Syarif*

Membaca judul artikel ini, tentu pembaca penasaran, kenapa penulis mengangkat tema ini. Apakah di Dayah ada kesan tidak ramah anak? Lantas bagaimana di lembaga pendidikan umum apakah ramah anak? Ini dua hal yang patut digugat diawal, hehe.

Tulisan ini muncul saat terjadi keguncangan batin mencermati paramater sekolah ramah anak yang dirumuskan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Berdasarkan Panduan Sekolah Ramah Anak (2015) yang dibuat oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, definisi konsep sekolah ramah anak adalah bentuk pendidikan formal, nonformal, serta informal. Di mana sekolah memiliki sifat aman, bersih, peduli, dan berbudaya lingkungan hidup, demi menjamin, memenuhi, serta melindungi hak anak serta perlindungan anak sekolah dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan di bidang pendidikan. Selain melindungi, menjamin, serta memenuhi hak anak, sekolah ramah anak juga turut mendukung partisipasi anak, khususnya dalam hal perencanaan, kebijakan, pembelajaran, pengawasan, serta mekanisme pengaduan yang berkaitan dengan pemenuhan hak dan perlindungannya di sekolah dan dunia pendidikan.

Terminologi ini dicoba masukkan dalam konsep pendidikan dayah.  Dayah atawa Pesantren berasal dari kata “zawiyah”, dalam bahasa arab mengandung makna sudut atau pojok masjid. Kata Zawiyah mula-mula dikenal di Afrika Utara pada awal perkembangan Islam. Zawiyah yang dimaksud pada masa itu adalah pojok masjid yang menjadi halaqah para sufi. Mereka berkumpul, berdiksusi, bertukar pengalaman, berzikir dan bermalam di Masjid. Dalam khazanah intelektual Pendidikan Aceh, istilah Zawiyah berubah menjadi Dayah.

Dalam literasi Kerajaan Islam Peurelak, dayah secara historis telah ada abad ke-9 masehi. Menurut Abdul Qadir Jailani, Samudera Pasai merupakan pusat pendidikan Islam pertama di Indonesia dan dari sini berkembang Islam hingga ke nusantara. Keberadaan Dayah di Aceh telah banyak melahirkan ulama baik level nasional maupun internasional sebut saja Syech Muda Wali Al-Khalidy (1917-1961), Pimpinan Dayah Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan, telah banyak memberikan kontribusi positif dalam eksistensi NKRI. Tentu narasi ini adalah nostalqia masa lalu.

Lalu bagaimana eksistensi dayah sekarang? Lahirnya Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dayah, mewajibkan negara terlibat aktif dalam pentadbiran dayah di Kabupaten/Kota.

Dayah merupakan lembaga Pendidikan Agama Islam, pakem utamanya santri wajib mondok dan belajar kitab turats (arab gundul). Jika santrinya tidak mondok dan tidak belajar kitab turats maka dikualifikasi Balai Pengajian. Dalam terminologi rakyat Aceh mondok dikenal “meudagang”.

Kembali ke menu utama ada apa dengan Dayah Ramah Anak. Ini harus dijawab secara lugas dan sederhana. Dayah yang ramah anak adalah sebuah ikhtiar besar kita semua, dimana dayah menjadi lembaga pendidikan agama Islam yang aman, nyaman bagi anak. Dayah menjadi lembaga pendidikan yang menyejukkan. Mulai dari lingkungannya termasuk proses pembelajaran, budaya akademik, non kekerasan. Tidak ada buliying (perundungan), tidak ada kekerasan pisik dan psikis baik antara santri senior dengan santri junior, maupun guru (tgk dayah) dengan santri. Pola penghukuman yang memakai kata-kata kotor dan tidak senonoh, perlu dikurangi dosisnya. Tentu “zero hukuman pisik” mungkin agak sulit. Setidaknya dihindari.

Kita ikut prihatin membaca berita dan menonton Televisi salah satu Pesantren Masyhur di Nusantara, santrinya meninggal dihantam senior. Dalam konteks Aceh kami sering mendapat pengaduan dari wali santri diluar Kota, bahwa Dayah atawa Pesantren yang berafiliasi pada salah satu Pontren mashur dipulau jawa, banyak terjadi kekerasa pisik dan psikis, baik dilakukan oleh guru, maupun oleh senior dan junior yang pada akhirnya berujung pada proses pemidanaan di Kepolisian. Hal ini pula diakui oleh Tgk Adi Darma,S.Pd,M.Pd Kadisdik Dayah Aceh Besar, saat kami berdiskusi ringan. Walaupun pada beberapa kasus diselesaikan secara musyawarah mufakat dengan orang tua santri.

Setidaknya Unicef-Yayasan Aceh Hijau mencermati secara sosiologis, budaya kekerasan yang terjadi dilingkungan dayah atawa pesantren masih terjadi di Aceh. Langkah ini pula mendorong dilakukan pelatihan Training of Trainer (ToT) Fasilitator Dayah Ramah Anak Terintegrasi dengan pendekatan Disiplin Positif bagi guru, pengasuh, dan pejabat yang membidangi pembinaan dayah Kab/Kota (Kasi PD Pontren Kanmenang dan Disdik Dayah Kab/Kota) sejak tanggal 14-18 Mai 2023 di Hotel Mekkah. Setidaknya ikhtiar besar kita khususnya Peserta ToT  Fasilitator Dayah Ramah Anak Terintegrasi (Pro DAI) harus mencoba menularkan Ilmunya guna melakukan lompatan pikiran dengan menerapkan konsep Dayah Ramah Anak. Dimana dayah harus benar-benar menjadi lembaga pendidikan yang menyenangkan, aman, non diskriminasi dan anti kekerasan. Proses pemberian hukuman tidak lagi melakukan cara-cara “pangreh”, membentak, mencaci maki, memukul tapi dengan pendekatan yang santun, dan membuat anak didik (santri) lebih termotivasi berubah sikap dan prilakunya serta betah mondok di dayah. Langkah ini butuh komitmen bersama. Semua stakeholder yang bersentuhan dalam pentadbiran dayah harus memberikan contoh terbaik. Karna Rasulullah, Muhammad SAW telah memberikan cara-cara bijak dalam mendidik. Jangan hanya pandai bercakap didepan santri, tapi perbuatan kita saat dilihat oleh santri meubagoe dan meucokoloh.

*Penulis adalah Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Banda Aceh, Peserta ToT Fasilitator Pro-DAI, Alumni Lemhannas Pemuda Angkatan I, Mantan Aktivis`98, Fungsionaris KAHMI Aceh

By fmla

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *