Oleh Bung Syarif*
Maraknya prilaku menyimpang (kekerasan fisik dan perilaku seksual yang dilakukan oleh tenaga pengajar dan pengasuhan akhir-akahir ini di lingkungan lembaga pendidikan baik boarding school maupun pondok pesantren atau dayah membuat hati miris. Kekerasan yang dilakukan antara senior dengan junior, kekerasaan seksual antara guru dengan siswa/santri, bahkan kekerasan seksual dilakukan oleh pimpinan Pesantren dengan siswa/santri. Karna itiu negara harus hadir disaat yang tepat.
Tentunya kita tidak boleh menutup mata terhadap berbagai kasus yang terjadi. Info terbaru dan terheboh Pimpinan Pesantren di Lombok Timur diduga cabul santrinya dengan modus menjadikan syurga dan cuan.
Kegiatan biadab dan mencoreng nama lembaga Pondok Pesantren di nusantara dilakukan oleh kiyai yang berinisial HSN (50 tahun), sosok kiyai tersebut sudah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian setempat. Perbuatan tersebut dilakukan sejak 2012 hingga 2023, kurang lebih 41 korban sebagaimana dilansir media kompas.id (28 Mai 2023).
Badruddin, kuasa hukum korban dari Koalisi Anti Kekerasan Seksual NTB dan Ketua Lembaga Studi dan Bantuan Hukum NTB. Modus perilaku melakukan pengajian umum lalu dilanjutkan dengan pengajian seksualitas. Bagi santri yang mau melakukan hubungan seksual dijanjikan masuk syurga.
Ini adalah tindakan biadab dan layak dihukum seberat-baratnya, Jika perlu dihukum mati. Sebelumnya di NTB juga mencuat kasus Baiq Nuril yang diduga menjadi korban kekerasan seksual pada tahun 2018, mesti menjadi korban justri Baiq Nuril dilaporkan balek melanggar Undang-Undang Transaksi Elektronik, walaupun akhirnya Presiden Joko Widodo turun tangan, memberikan amnesti.
Kasus kekerasan fisik dan piskis serta kekerasan seksual yang terjadi dilingkungan lembaga pendidikan (baik pendidikan umum, maupun pendidikan agama) mesti dicari solusinya. Jangan dibiarkan dan baru ada tindakan negara saat terekspos secara meluas di medsos. Langkah-langkah taktis dan strategis perlu diantisipasi.
Dalam konteks Aceh, walau kasus seperti yang kami sebutkan diatas belum separah yang terjadi sebagaimana NTB dan daerah lainnya di pulau jawa, sejatinya negara harus hadir. Pemerintah Aceh, Pemerintah Kab/Kota harus menyikapi problem ini dengan serius. Jika perlu langsung menutup lembaga pendidikan yang diduga melakukan kekerasan fisik dan seksual karna ini mencoreng nama lembaga pendidikan. Saya menyarankan pemerintah daerah perlu membentuk tim terpadu dalam mengatasi problem ini dengan melibatkan stakeholders terkait termasuk didalamnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Disdik Dayah, Kanmenag serta pihak-pihak yang punya konser dalam bidang terkait.
Khusus dilingkungan Dayah atawa Pesantren di Aceh, gagasan Dayah Ramah Anak Terintegrasi (Pro DAI) yang digagas oleh Unicef-Yayasan Hijau patut didukung oleh pemerintah daerah. Saya menduga lahirnya program ini, karna ada kerisauan yang dalam terhadap dugaan kekerasan seksual dan kekerasan fisik di dayah/pesantren yang barangkali belum terekspos secara meluas. Walau dibeberapa dayah di Kab/Kota penulis mendapat laporan juga terhadap adanya tindakan kekerasan dan prilaku pelanggaran seksual. Mari kita kawal bersama, agar keberadaan dayah/pesantren yang ada di Aceh steril dari prilaku menyimpang. Modul Disiplin Positif yang disesuaikan dengan karakteristik local ke -Acehan, mestinya menjadi referensi awal dalam membendung tindakan yang tidak terpuji. Krue semangat, semoga mimpi besar kita bersama dayah di Aceh terhindar dari kegiatan tercela, sebagaimana terjadi baru-baru ini di NTB. Menjadi penting juga untuk dilatih guru dayah manajemen penanganan kasus kekerasan oleh dinas teknis.
*Penulis adalah Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Banda Aceh, Alumni Peserta ToT Fasilitator Dayah Ramah Anak Terintegrasi (Pro DAI), Dosen FSH UIN Ar-Raniry