Oleh Bung Syarif*
Konon menurut kisah yang kami terima di tahun 1920 berdiri sebuah Masjid Tuha yan berada di Komplek Dayah Madinatul Fata, Masjid tersebut adalah Masjid Gampong Lam Ara Kecamatan Banda Raya, di renovasi pertama pada tahun 1956. Majid warisan Abu Syiek Abdul Aziz ini awalnya cikal bakal lahirnya Dayah Madinatul Fata. Di Masjid inipula dentingan suara merdu, anak-anak dan remaja mengaji dan mendalami Ilmu Agama, kala itu berlangsung setiap minggunya.
Awal tahun 2001 para tokoh masyarakat Lam Ara sebut saja H. Ichtyar Roedyar Hamid bersama tokoh lainnya berkeinginan di Lam Ara atawa Lampeot hadir satu dayah salafiyah disebelah kanan Masjid. Setelah musyawarah timbul kesepakatan agar Tgk. Atasykuri (Abana), menjadi pimpinan Dayah Madinatul Fata. Ulama muda yang sangat kharismatik dan tawadhuk ini sungguh sosok insan yang luar biasa. Mumpuni di bidang ilmu agama dan punya nilai seni yang tingggi.
Darah arsitekturnya jelas terlihat. Saya tentu kagum saat menginjakkan kaki pertama di Tahun 2017 memasuki komplek Dayah ini yang semakin menawan. Kala itu saat memberikan bantuan insentif pimpinan dayah serta beberapa momen lainnya dalam rangka memfasilitasi bantuan baik yang bersumber dari Unicef, maupun Pemrintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh.
Selama mengabdi pada Disdik Dayah Banda Aceh sejak tahun 2016 hingga sekarang, baru satu kali ketemu langsung dengan Abana, di momentum peresmian Dayah Madinatul Fatayat (Komplek Putri), Senin 13 Januari 2019. Abana berkisah setiap bilik punya cerita tersendiri. Awalnya setiap Balai dibantu swadaya masyarakat, bahkan ada yang mewakafkan secara personal untuk pembangunan Balai sebagai tempat pengajian, ungkap Abana. Setiap untaian katanya saya mencoba menyimak dengan seksama. Suara hati saya bergetar saat sosok ulama ini bicara. Sambil melihat setiap atap yang penuh warna-warni dan dihiasi pepohonan yang asri dan tertata rapi. Layak disebut Dayah Salafiyah yang punya arsitektur harmoni dan elok dipandang mata.
Diawal pengantar pidatonya beliau berkata: “sebelum saya membangun dayah putri, maka terlebih dahulu dibangun tembok pembantas (red tembok berlin) biar aman. Karna menjaga kaum hawa butuh tembok pembatas yang tinggi, agar tidak bercampur laki-laki dan perempuan. Ide yang cemerlang.
Dayah ini semakin menawan dan berkembang. Santrinya yang berasal dari Kab/Kota di Aceh, bahkan di tahun 2018 banyak santri luar negeri yang berasal dari Malaysia. Kurang lebih santri malaysia kala itu 25 orang, namun pasca pandemi corona, semua santri Malaysia pulang kekampung halamannya. Abana yang dikenal sebagai pigur yang gemar mengajar saat masih mondok di Dayah Ruhul Fata Seulimum, Aceh Besar mewakafkan dirinya untuk mencetak generasi rabbani.
Cita-cita yang luhur dan mulia. Konsisten mengembangkan dayah hingga minat santri mondok disini setiap tahunnya semakin membludak. Hasil wawancara kami dengan Afrizal Sekretaris Dayah mengatakan semua bilik tak sanggup lagi menampung santri. Makanya tradisi bangunan di Dayah ini dua atau tiga lantai. Kamipun diajak untuk melihat-lihat lokasi pembangunan. Setiap bangunan yang terkoneksi satu sama lainnya, dibangun sangat apik dan indah.
Dipojok belakang sedang dibangun rumah dewan guru serta di sebelah kanannya sedang berproses pembangunan asrama santri. Dayah ini sungguh semakin menawan. Ayo mondok dan bantu dayah. Semoga kedepan Dayah Madinatul Fata menjadi pemantik dayah salafiyah di Kutaraja. Ingin dalami Kitab Thurats di Banda Aceh, Madinatul Fata pilihan yang tepat.
Prestasi Dayah dan Santri.
Dayah ini pada Tahun 2017 meraih prestasi membanggakan sebagai Dayah Terbersih se-Aceh katagori salafiah (tradisional). Disamping itu Santri Dayah Madinatul Fata disetiap event lomba Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) Tingkat Kota Banda Aceh selalu mendominasi juara I, bahkan kompetensi santri dayah Madinatul Fata dalam kajian kitab turats sangat mumpuni untuk kalangan santri dayah yang dilingkungan Kota Banda Aceh.
Ciri khas dayah ini adalah pemahaman Kitab Turats yang mumpuni. Banda Aceh terbantu dengan elektabilitas “santri dayah” khususnya di bidang kajian kitab turats, tentu tidak bermaksud mengkerdilkan dayah-dayah lainnya di Banda Aceh. Tiap ada event Lomba baca dan terjemahan kitab turats yang umurnya dibatasi maksimal “17 Tahun”, dayah ini, kebanjiran stok santri. Walau diakui dayah Terpadu/ Modern seperti Inshafuddin, Babun Najah dan Darul `Ulum juga ada santri yang mumpuni di Bidang Kitab Turats, tapi tidak sebanyak santri yang ada di Dayah Madinatul Fata.
Sementara Dayah Salafiyah (Tradisional) yang lainnya di Banda Aceh rata-rata lewat umur. Ini juga menjadi kendala tersendiri jika Disdik Dayah Aceh menggelar event lomba baca dan terjemah kitab turats yang membatasi umur hingga 17 Tahun dan membatasi peserta perdayah satu orang, membuat Banda Aceh tidak mampu memenuhi quota peserta sebagaimana yang diinginkan Disdik Dayah Aceh.
Fakta ini pula pada tanggal 27-29 September 2022, Disdik Dayah Banda Aceh hanya mampu mewakilkan 6 orang santri dari 8 santri yang menjadi peserta yang berasak dari Kota Banda Aceh di event Lomba Terjemah Kitab Turats di Grand Nanggroe.
Adapun utusan dayah yang bisa tampil antara lain; Darul Ulum, (Terpadu/Modern) Inshafuddin (Terpadu/Modern), Madinatul Fata (Salafiyah/Tradisional), Mini Aceh (Salafiyah/Tradisional), Babun Najah (Terpadu/Modern), Baital Atiq (Salafiyah/Tradisional)
*Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Banda Aceh