Oleh Hasvi Harizi*
Gairah dalam berburu ilmu merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh santri. Sebab dengan kadar gairah dan kesungguhannya-lah, seseorang akan memperoleh apa yang menjadi harapannya.
Gairah tersebut perlu terus dikobarkan, sebab rasa malas dan lesu kerap kali mendera para penuntut ilmu. Dengan mengatasnamakan lelah, penat, jenuh, sibuk dengan banyak tugas sekolah dan lain sebagainya, kemudian mereka berhenti mengaji dan tanpa sadar malah menjauh dari jalan yang benar.
Terkait perihal diatas, Rasulullah SAW pernah bersabda dalam sebuah hadist, “Setiap waktu pasti ada gairahnya (masa semangat) dan disetiap gairah pasti mengalami penurunan. Barangsiapa penurunannya kepada sunnah maka ia telah beruntung dan barang siapa penurunannya kepada sesuatu yang lain (selain sunnah) maka ia telah binasa”.
Berdasarkan cuplikan hadist diatas, maka seorang penuntut ilmu haruslah senantiasa menguatkan gairah dan tekadnya untuk tetap berada di jalan yang benar. Jangan sampai dikalahkan oleh syahwat yang justru mengantarkannya ke dalam jurang kebinasaan.
Baiklah, untuk menyegarkan kembali semangat kita dalam hal membaca, menulis dan mengaji. Mari sebentar saja kita menengok isi kutipan pengajian bersama Abu Syukri Pango. Dalam sesi pengajian tersebut, sebelum menawarkan solusi, beliau lebih dulu menyampaikan bahwa setidaknya ada tiga penyakit yang menghambat seseorang untuk memperoleh ilmu.
Menurutnya, tiga penyakit tersebut akan menimpa siapa saja yang berjuang dalam satu bidang tertentu, baik itu ibadat, bisnis, mengaji dan lain sebagainya. Seseorang yang terjangkit tiga penyakit tersebut, akan menjadi lemah dan lamban, meskipun awalnya ia sangat semangat dan bersungguh-sungguh dalam bidang yang ditekuninya. Penyakit itu beliau nukil lansung dari kitab Ad-Durrun Nafis karya Syekh Muhammad Nafis.
Lansung saja, ketiga enyakit tersebut adalah, yang pertama, rasa malas padahal ada waktu untuk melaksanakannya. Yang kedua adalah bimbang dengan perbuatan dunia. Yang ketiga adalah malal yaitu bosan atau jenuh lantaran perbuatan itu sudah dilakukan secara berulang-ulang.
Kemudian beliau mengatakan “Poin ketiga inilah yang sering kali menimpa para penuntut ilmu. Sebab tatkala mengaji dan membaca kitab telah menjadi perkara yang berulang-ulang, akibatnya muncullah yang namanya jenuh”.
Titik jenuh, itulah awal mula yang terkadang begitu mengerikan. Pasalnya, keadaan jenuh bukan saja membuat semangat santri dalam mengaji menurun, tapi dorongan untuk berhenti mengaji juga menjadi menguat. Akibatnya mereka merasa puas dengan ilmu yang belum sempurna. Dan mereka beramal dengan ilmu yang tidak sempurna tersebut.
Setelah menjelaskan tiga penyakit tersebut, selanjutnya beliau menawarkan solusinya. Dan solusi tersebut sekaligus sebagai syarat belajar yang harus oleh para santri. Solusi yang pertama, santri harus memiliki himmah (kemauan) yang tinggi dan rakus kepada ilmu.
Perkataan beliau tersebut selaras dengan pernyataan Syaik Az-Zarnuji dalam kitab Ta’limul Mutallim. Syekh Zarnuji mengatakan, bahwa wajib bagi setiap pelajar, untuk bersungguh-sungguh, terus menerus, dan komitmen, tidak berhenti hingga tujuan dalam menuntut ilmu tercapai.
Dikatakan pula, barang siapa yang mencari sesuatu dan dilakukannya dengan sungguh-sungguhm pasti dia akan mendapatkannya. Dan barang siapa yang mengetuk pintu dengan terus pasti dapat masuk.
Solusi yang kedua, santri tidak boleh ada kesibukan selain belajar. Menurut Abu Syukri, banyaknya kegiatan diluar akan mengganggu konsentrasi santri dalam belajar. Selain istirahat dan waktu makan, kata beliau, santri dituntut untuk memberikan seluruh waktu dan tenaganya untuk belajar, belajar, dan belajar. Sehingga ilmu betul-betul mendarah daging dalam kepalanya.
Terkait hal ini, beliau mengutip pernyataan Imam Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin. Bahwa ilmu tidak akan memberikan keseluruhannya kepadamu, sebelum engkau memberikan keseluruhanmu kepadanya. Jika engkau memberikan setengah-setengah mungkin ilmu tidak akan memberikan apapun kepadamu.
Solusi yang ketiga, jangan percaya akan waktu akan datang. Yang ketiga ini dipahami oleh beliau dengan sifat tunda-menunda. Menurut beliau banyak sekali para santri menunda-nunda dalam melakukan sesuatu. Besok sajalah baru hafal matan kitab tersbeut. Besok sajalah baru menulis bahasan fiqih tersebut. Minggu depan sajalah baru aktif kembali mengaji. Padahal waktu akan datang belum tentu selapang waktu sekarang.
Solusi yang keempat, para santri harus gemar memperbanyak koleksi bacaan baru. Dengan demikian kata beliau, kejenuhan belajar dapat teratasi.
Solusi yang kelima, santri harus tetap sabar dalam menuntut ilmu walaupun butuh waktu yang sedikit lama. Menurut beliau Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru dalam meraih ilmu syar’i, menuntut ilmu syari tidak bisa didapatkan dengan kilat atau dikursuskan dalam waktu yang singkat.
Harus diingat, bahwa perjalanan dalam menuntut ilmu adalah panjang dan lama, oleh karena itu wajib sabar dan selalu memohon pertolongan allah agar tetap istiqamah dan selalu bergairah diatas kebenaran.
*Penulis adalah Santri Dayah Raudhatul Hikmah Al Waliyah, Peserta Pelatihan Penulisan Ilmiah yang dilaksanakan oleh Disdik Dayah Banda Aceh,15-17 Agustus 2022 di Hotel Kyriad Muraya Aceh