Sun. Dec 1st, 2024

Oleh Bung Syarif*

Panggung Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) sesungguhnya wujud dari pengakuan negara atas eksistensi kaum kiya (Tokoh Agama) atau sebutan lain dalam memperjuangkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejarah mencatat para santri mewakafkan hidupnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia dari kolonialisme.

Resolusi jihad yang dipelopori oleh tokoh KH. Hasyim As`ari yang merupakan pendiri Nahdatul Ulama (NU), berhasil membangkitkan semangat jihad santri nusantara dalam mengusir penjajahan Belanda. 22 Oktober 1945 merupakan Ikhtiar dari gerakan jihad akbar santri. Revolusi ini pula membakar para santri arek-arek surabaya melawan tentara kolonial Belanda NICA yang dipimpin oleh AWS. Mallaby dalam peperangan yang besar selama tiga hari berturut (27-29 oktober 1945), yang pada akhirnya Malllaby tewas.

Gerakan Resolusi jihad ini pula mengilhami dan menyemangati Tentara Nasional Indonesia bersatu padu dengan para santri dalam mengusir penjajahan. Itu artinya TNI dan Rakyat (baca santri) kala itu menyatu. Saat ini kita tentu tidak menarasikan nostalgia akan eksistensi santri masa lalu dalam ruang hampa. Akan tetapi menjadikan momentum resolusi jihad sebagai gerakan membangun narasi mimpi besar.

Dalam konteks Aceh potensi sumber daya santri sangat besar,  Santri Aceh kini semakin unggul dan memiliki talenta yang luar biasa. Kita melihat diberbafgai medsos, Santri Aceh sudah melahirkan berbagai Inovasi seperti membikin pesawat, robot, kreativitas seni, kemampuan Kitab Turats (Kitab Gundul).  Saya menyebutnya santri mesti “kaya”. Kaya yang saya maksudkan disini adalah kaya Ilmu dan wawasan, kaya adab, kaya inovasi dan kreasi serta kaya relasi. Karna dengan kekayaan yang paripurnalah santri Aceh kedepan mampu bersaing dalam kancah globalisasi. Karna itulah Lembaga Pendidikan Dayah di Aceh harus mampu beradabtif dalam mencetak kader Ulama dan Intelektual Muslim di Aceh terutama menyonsong Indonesia Emas. Dalam kontek mewujudkan santri Aceh “Kaya”. Penulsi menawarkan enam prinsip utama, antara lain:

Pertama; Santri harus memiliki sifat pelopor kebaikan (saafiqul khair). Dimanapun ia berada, santri harus menjadi pemantik pelopor kebaikan. Tutur kata, tindakan dan karakter sebagai pendakwah harus benar-benar dijalankan dengan baik. Semangat berbuat kebajikan harus dominan. Kurangi dosis saling mengklaim kebenaran apalagi menganggap diri paling benar dan hebat.

Kedua: Santri harus berperan sebagai penerus ulama (naasibul `ulama). Santri merupakan kader ulama masa depan Aceh. Dengan kapasitas keilmuannya harus mewarnai seluruh sendi kehidupan bernegara. Disinilah butuh standarisasi dan pengakuan akan ijazah alumni dayah. Tidak mungkin kompetensi santri diakui jika ijazah yang dikeluarkan oleh Dayah sebagai lembaga yang mencetak kader ulama belum diakui oleh negara. Oleh karenanya sejatinya Dayah Salafiyah (Tradisional) sudah mengambil program Satuan Pendidikan Muadalah (SPM) atau Penddikan Diniyah Formal (PDF) yang menjadi pilihan agar negara mengakui legalitas ijazah alumninya serta dapat dijadikan referensi untuk mengabdi pada berbagai institusi negara.

Karna tidak semua santri dayah Salafiyah (Tradisional) bercita-cita menjadi ulama, akan tetapi ada yang berkeinanan jadi Personil TNI/Polri serta melanjutkan pada Perguruan Tinggi.

Ketiga: Santri harus benar-benar meninggalkan kemaksiatan. Dimana dengan kapasistas ilmu yang diterimanya selama modok atau bermukim di dayah/pondok pesantren, harus mampu menjadi insan yang tawadhuk, santun dan berbudi luhur. Santri harus benar-benar menjadi pendakwah yang baik.

Keempat: Setiap tindakan yang dilakukannnya harus mendapat ridha Allah. Apabila keridhaan Ilahi telah diperolehnya maka akan ada keberkahan dalam segenap aktifitasnya.

Kelima: Santri Aceh harus dibekali ketrampilan life skill dan muatan kewirausahaan, sehingga nantinya akan mandiri dan mempunyai jiwa kewirausahaan yang tinggi. Dengan kemampuan itulah santri akan mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.

Keenam; Santri Aceh harus menguasai Digitalisasi dan menguasai Bahasa Asing yang menjadi Bahasa dunia. Karna hidup dalam era globalisasi dan post modern. Santri ditutut untuk mampu beradaptif dalam kancah globalisasi. Disinilah Lembaga Pendidikan Dayah harus membuka diri dalam meramu kurikulum. Jangan ada lagi ungkapan belajar Bahasa Asing adalah belajar bahasa kafe. Karna hidup dijaman post modern sekat-sekat tidak bisa lagi dibendung. Jangan ada lagi jargon Santri itu hanya belajar ilmu agama an sich. Santri juga harus memiliki berbagai ketrampilan sesuai telentanya dan kebutuhan zaman.

Ketrampilan yang dimilik santri sesuai bakat yang ada, nantinya menjadi modal besar dalam membangun peradaban Aceh yang bermartabat. Krue semangat. Selamat memperingati Hari Santri Nasional 22 Oktober 2024. Santri Aceh Hebat dan Meushuyu. Takbir.

*Penulis adalah Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Kota Banda Aceh, Pengurus ICMI Kota Banda Aceh periode 2024-2029, Ketua Komite Dayah Terpadu Inshafuddin, Dosen Legal Drafting FSH UIN Ar-Raniry, Wali Santri Dayah Ruhul Islam Anak Bangsa (RIAB), Wakil Sekretaris PW Syarikat Islam Aceh

By fmla

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *